Sejarah Singamangaraja XII Gugur Sebagai Pahlawan Islam
Opini publik dewasa ini kurang menyadari
bahwa Si Singamangaraja XII adalah seorang Muslim, yang di angkat sebagai
Maharaja di negri Toba di kota Bakara pada 1304 Hijria. Sebagai seorang pejuang
yang bertempur terus hingga akhir hayatnya ketika ditangkap dan di tembak oleh
Belanda pada 17 Juni 1907.
Untuk menghargai dan menghormati jasa
yang telah di korbankan bedasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia No.
217 tahun 1957, pemerintah telah mengangkat Si Singamangaraja XII sebagai
pahlawan kemerdekaan nasional. Adapun yang di maksud dengan batasan Pahlawan
Kemerdekaan Nasional adalah seorang yang masa hidupnya terdorong oleh rasa
cinta tanah airnya dan sangat berjasa dalam memimpin suatu kegiatan yang
teratur menentang penjajah di Indonesia melawan musuh dari luar negri, ataupun
sangat berjasa baik dalam lapangan politik, ketatanegaraan, sosial ekonomi,
kebudayaan maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan yang erat hubungannya dengan
perjuangan kemerdekaan dan perkembangan Indonesia.
Mungkin dasar kriteria semacam di atas,
di tambah dengan adanya sistem penyusunan cerita Sejarah Nasional yang tidak
menonjolkan tentang agama yang di peluknya, menyebabkan kita tidak menyadari bahwa
Si Singamangaraja adalah pejuang Islam yang gugur sebagai syuhada pada tanggal
17 juni 1907.
Silsilah
Perlu pula kita ketahui bahwa nama Si Singamangaraja adalah nama dinasti dari
keluarga “Sinambela”. Yang kita bicarakan di sini adalah keturunan yang ke-12.
Adapun silsilahnya sebagai berikut:
1. Raja Munghuntal -Si Singamangaraja I
2. Ompu Raja Tianaruan -Si Singamangaraja II
3. Raja Itubungna -Si Singamangaraja III
4. Sori Mangaraja -Si Singamangaraja IV
5. Pallongos -Si Singamangaraja V
6. Pangulbuk -Si Singamangaraja VI
7. Ompu Tuan Lumbut -Si Singamangaraja VII
8. Ompu Sotaronggal -Si Singamangaraja VIII
9. Ompu Sohalompoan -Si Singamangaraja IX
10. Ompu Tuan Nabolon -Si Singamangaraja X
11. Ompu Sohahunon -Si Singamangaraja XI
12. Patuan Besar Ompu Pulo Baru -Si Singamangaraja XII
Kristenisasi
Perlu saya jelaskan telebih dahulu
tentang kristenisasi disini tidak bertujuan menggoyahkan kerukunan beragama,
tetapi sekedar mengisahkan kembali tentang cara Belanda menguasai daerah
Tapanuli melalui Kristenisasi. Jadi sebagai fakta sejarah yang benar-benar
telah terjadi dan memang masalah Kristenisasi inilah yang nantinya menjadi
sumber pangkal permasalahan mengapa Si Singamangaraja XII mengadakan perlawanan
bersenjata terhadap Belanda. Tampaknya penyebaran agama Kristen di Tapanuli
saat itu mempunyai tujuan politik untuk menguasai wilayah tersebut. Dan tujuan
politis inilah yang mengubah sikap rakyat Tapanuli terhadap agama Kristen.
Penyebaran agama itu sendiri tidaklah
mendapat perlawanan. Tetapi tujuan politik penjajah membangkitkan rakyat untuk
mengangkat senjata.
Adapun tujuan politik yang menyertai penyebaran agama Kristen saat itu adalah
seperti yang diyatakan oleh J.P.G Westhoff: “menurut pendapat kami untuk
tetap memiliki jajahan-jajahan kita untuk sebagian besar adalah tergantung dari
pengkristenan rakyat yang sebagian besar belum beragama atau yang telah
beragama Islam”.
Gerakan agresi agama ini besar
kemungkinan mulai di lancarkan ke daerah Tapanuli pada 1824. Hal ini terbukti
dengan adanya pembunuhan terhadap Baptis Amerika yakni Munson dan Lyman di
Sinaksak. Kemudian gerakan ini di perhebat pada 1861 yang di lakukan oleh
Rijnsche Zending yang memusatkan gerakannya di Padang Sindempuan.
Dari sini gerakan akan diarahkan
memasuki daerah Toba. Untuk keperluan ini pemerintah kolonial Belanda menunjuk
misionaris Nommensen dan Simoniet. Daerah-daerah serta rakyatnya yang telah di
pengaruhi oleh penyebaran agama ini kemudian secara administratif di serahkan
kepada kolonial Belanda. Atas jasa yang demikian besar ini pemerintah Belanda
merasa berhutang budi terhadap Nommensen, dan pada 1911 Nommensen di beri
bintang Officer van Oranje-Nassau.
Penyebaran agama semacam di atas
mempunyai efek politik dan ekonomi sosial yang sangat merugikan rakyat
Tapanuli. Penyerahan daerah kepada pemerintah kolonial Belanda, membawa akibat
timbulnya sistem monopoli di bidang perdagangan. Termasud ke dalam masalah
pertanian, penjualan hasil bumi di monopoli oleh Belanda. Di bidang politik
tindakan tersebut berarti mempersempit daerah kekuasaan Si singamangaraja, di
bawah kondisi yang demikian mendorong pandangan politik dan ekonomi rakyat
Tapanuli untuk lebih bersahabat dengan Aceh dan Sumatra Barat.
Si Singamangaraja XII
Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba bersamaan dengan
dimulainya open door policy (politik pintu terbuka). Belanda merasa perlu
mengamankan modal asing yang beroperasi di Indonesia yang tidak mau
menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian pendek) di Sumatra terutama Aceh
dan Tapanuli. Kedua konsultan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara
Eropa lainya. Belanda sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua
kesultanan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya
untuk melahirkan peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Daya tempur yang sangat lama ini karena
di tunjang oleh ajaran agama Islam. Hal ini jarang jarang di kemukakan oleh
para sejarawan, karena merasa kurang relevan dengan predikat Pahlawan Nasional.
Atau karena alasan-alasan lain merasa kurang perlu membicarakannya. Kalau toh
mau membicarakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII, mereka
lebih cenderung untuk mengakui Si Singamangaraja XII beragama Pelbagu.
Pelbagu semacam agama animisme yang
mengenal pula pemujaan dewa. Debata Mulajadi sebagai mahadewa. Juga mengenal
ajaran Trimurti: Batara Guru (dewa kejayaan), Debata Ser
Satu hal yang sukar diterima adalah bila
Si Singamangaraja XII beragama animisme, karena kalau kita perhatikan Cap Si
Singamangaraja XII yang bertuliskan huruf arab berbunyi; Inilah Cap Maharaja di
negri Toba kampung Bakara kotanya. Hijrah Nabi 1304.
Pada cap tersebut terlihat jelas
penggunaan tahun hijriah Nabi. Hal ini memberikan gambaran tentang besarnya
pengaruh ajaran Islam yang menjiwai diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf
batak yang masih pula di abadikan, adalah sama dengan tindakan Pangeran
Diponegoro yang masih mengguakan huruf jawa dalam menulis surat.
Begitu pula kalau kita perhatikan
bendera perangnya. Terlihat pengaruh Islam dalam gambar kelewang, matahari dan
bulan. Akan lebih jelas bila kita ikuti keterangan beberapa majalah atau koran
Belanda yang memberitakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja
XII, antara lain;
Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige titularis een 5 tak
jaren geleden tot den Islam jizn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet
en oefende geen druk op jizn ongeving uit om zich te bekeeren. ( Sukatulis,
1907, hlm, 1)
Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja
yang sekarang (maksud Titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima
tahun yang lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia menekan
supaya orang-orang sekelilingnya menukar agamanya.
Berita di atas ini memberikan data kepada kita bahwa Si Singamangaraja XII
beragama Islam. Selain itu, di tambahkan pula tentang rakyat yang tidak
beragama Islam, dan Si Singamangaraja XII tidak mengadakan paksaan atau
penekanan lainnya. Hal ini sekaligus memberikan gambaran pula tentang
penguasaan Si Singamangaraja XII terhadap ajaran agama itu sendiri.
Sebaliknya tindakan penyebaran agama
yang dilakukan Rijnsche Zending di Toba di sertai dengan serbuan militer
Belanda. Serangan yang semacam ini baik yang di lancarkan pada 1861 ataupun
1877 pada masa pemerintahan Si Singamangaraja XII, mempunyai motif penguasaan
daerah Toba yang subur.
Tidaklah mengherankan kalau Si
Singamangaraja XII memimpin rakyatnya membendung usaha perluasan wilayah
tersebut. Dalam pelawanan bersenjata ini beliau di bantu oleh Panglima Nali
yang berasal dari Minangkabau dan Panglima Teuku Muhammad yang berasal dari
Aceh.
Letak geografis Tapanuli yang berada di tengah-tengah antara Aceh dan Sumatra
Barat memungkinkan kedua daerah atau kesultanan tersebut saling kerjasama.
Selain adanya kesamaan keyakinan agama, ditunjang oleh kondisi politik yang
sama menghadapi ekspedisi wilayah dari Belanda. Itulah sebabnya memungkinkan
kedua panglimanya berasal dari kedua kesultanan di atas.
Belanda sendiri ketika melihat situasi
geografis yang demikian itu, mempunyai kepentingan lain. Dengan di lancarkanya
operasi militer ke Toba, mempunyai motif melaksanakan tujuan wig pilitic
(politik bayinya) “O. Hashem, 1968, hlm. 31″ yang untuk memisahkan daerah
Tapanili dati pengaruh Aceh dan Sumatra Barat.
Sekalipun Belanda memiliki persenjataan
yang lebih unggul, namun usaha penguasaan wilayah Tapanuli tidaklah semudah
yangdiperkirakan semula. Secara fisik memang sepintas dapat menguasai Bahal
Batu, Butar, dan Lobu Siregar. Tetapi apa artinya kalau penguasaan wilayah ini
tidak mampu menundukan kemauan rakyat. Faktor terkhir inilah yang menjadi
problem dalam setiap peperangan. Karena tidak ada rumus bagaimana caranya
menguasai kemauan dari bangsa yang telah di kuasai negaranya. Dan tampaknya
sedah menjadi kodrat alam tidak ada suatu bangsa pun yang mau di jajah. Apalagi
bangsa tersebut memiliki daya tempur yang tinggi. Dan hal ini kebanyakan hanya
di miliki oleh bangsa yang telah mempunyai ajaran agama yang di dalamnya
mengajarkan pembelaan diri apabila di serang.
Di sini Si Singamangaraja XII telah memeluk
agama yang demikian itu, yaitu Islam. Keyakinanya telah menunjangnya untuk
mampu bertahan dan berjuang selama tiga puluh tahun lamanya. Suatu kenyataan
sejarah yang tidak dapat di sangkal lagi bahwa ajaran agama Islam mempunyai
pengaruh besar tehadap perkembangan dan sikap jiwa bangsa Indonesia.
Seseorang yang memeluk agama akan merasa
dirinya kuat dan lagi peperangan tidak dapat di kerjakan oleh seorang pemimpin,
melainkan merupakan hasil dari kerjasama. Hasil ini akan mudah dicapai apabila
masyarakatnya tersebut terbina dalam ajaran agama. Karena dasar ajaran agama
tidak mengajarkan hidup secara individual sifatnya, melainkan lebih menekankan
kepada kegotongroyongan. Apabila masyarakat tersebut telah meletakan
kepercayaan sepenuhnya kepada kepemimpinan di atasnya. Ini adalah sebagai
faktor yang memudahkan untuk menumbuhkan kesatuan gerak perjuangan.
Persyaratan yang demikian itu telah
tumbuh dalam masyarakat Tapanuli. Si Singamangaraja XII tidak hanya di anggap
sebagai seorang Maharaja tapi juga sebagai Imam di bidang agama. Faktor
kepercayaan yang telah di berikan rakyatnya ketangan Si Singamangaraja XII
merupakan factor yang dominan yang memungkinkan dirinya di angkat sebagai
seorang keramat, sehingga Si Singamangaraja XII menjadi seorang pemimpin yang
kharisma nya besar.
Sekalipun demikian besar kekuasaan Si Singamangaraja XII, tidak menjadikan
dirinya sebagai seoarang sultan absolut. Malahan rakyatnya memberikan gelar
sebagai juru damai, yang selalu berpihak kepada kepentingan rakyat.
Menghadapi seorang pemimpin rakyat yang
demikian besar pengaruhnya, Belanda harus menggunakan cara lain. Ibu,
permaisuri, dan kedua putranya di tangkap. Dengan cara ini belanda berharap
dapat membawa Si Singamangaraja XII kemeja perundingan.
Kompromi ini tidak mungkin tercapai.
Karena kebencian Si Singamangaraja XII terhadap Belanda telah ditanamkan sejak
lama oleh ayahnya. Juga di lakukan oleh bukti sejarah Si Singamangaraja X (Ompu
Tuan Nabolon) dan Raja Lambung putranya, dibunuh oleh Belanda.
Sejalan dengan situasi di Tapanuli
tersebut, Belanda melancarkan yang membabi buta pula terhadap ulama di Aceh.
Vetter melanjutkan operasi militer seperti yang pernah di kerjakan oleh Van der
Heijden. Tindakan mereka ini merupakan realisasi nasehat Snouck Hurgroje yang
mengadakan pengejaran tanpa henti terhadap para ulama yang memimpin gerilya.
Operasi yang demikian kejam dengan mengadakan pembunuhan semena-mena
terhadap pemuka-pemuka Islam mendapat restu pula dari mentri Bergsman.
Gerakan operasi militer yang demikian
ini terdorong oleh usaha ingin mematahkan saingan Inggris yang menjadikan Pulau
Penang sebagai pelabuhan yang mengekspor rempah-rempah dari Aceh. Saingan ini
ingin dipatahkan dengan menguasai daratan Aceh dan Tapanuli. Pulau Sabang
dijadikan pelabuhan batu bara yang mensuplai kapal-kapal yang memblokade Aceh.
Tentu saja untuk mendapatkan batu bara ini di perlukan penguasa Ombilin dan
Sawah Lunto di Sumatra Barat. Kedua daerah terakhir ini telah berhasil di
kuasainya. Hanya Tapanuli sebagai daerah subur yang terletak di kedua wilayah
tersebut yang masih belum mau menandatangani “Korte Verklring”.
Dengan latar belakang berbagai kepentingan di atas, Belanda berusaha keras
melancarkan operasi mematahkan kekuasaan Si Singamangaraja hal ini akan
menjadi mungkin karena gerilya ulama Aceh mulai satu persatu terpatahkan.
Selain sekutu Si Singamangaraja XII
mulai lemah, juga di sebabkan persenjataan yang di milikinya tidak seimbang
dengan yang dimiliki Belanda. Politik Pintu Terbuka dengan adanya tuntunan
pengamanan modal asing, melibatkan negara-negara imprealis lainya menunjang
usaha Belanda untuk mengakhiri perlawanan bersenjata Umat Islam Indonesia.
Termaksud Si Singamangaraja XII. pada 17 juni 1907 di bawah pimpinan Kapten
Christoffel, Belanda menggempur pusat pertahanan Si Singamangaraja XII.
Sampai saat pertempuran terakhir ini, Si Singamangaraja XII bersama putrinya,
Lopian, memilih jalan gugur sebagai syuhada dari pada menyerahkan Tapanuli di
atas Korte Verklaring kepada Belanda.
Seluruh bangsa Indonesia merasa
kehilangan jasad seorang pahlawan Si Singamangaraja XII, tetapi tidak
kehilangan jiwa dan cita-citanya. Si Singamangaraja XII gugur sebagai syuhada,
tetapi tidak mati melainkan hidup abadi di hati bangsa di sisi Allah SWT.
Tulisan ini di kutip dari MJ Institute | Education is Struggle
Comments